Rabu, 24 Februari 2010

TIGA SAJAK IKUT KRAKATAU AWARD 2009

Sajak Oky Sanjaya

YULIYA

nai1, yuliya yang kubangun dulu adalah kayu tenam
yang bila kau rendam dalam ham berpuluh-puluh tahun
takkan ngebubbuk2 dan jadi sarang kumbang.
yuliya yang bila kau tebas batangnya seperti menebas
bayanganmu sendiri saat bulan benar-benar di badan.
saat benar bahwa yang kami cari itu adalah bulambanan3.

nai, yuliya yang kubangun dulu adalah seikat jawan4
seikat ingatan yang bila kelak tiba kau bakar akan
melahirkan kopi dan temajjak5 pisang. Hidup yang diam dan
perlahan membiarkan mamak6 dan minan7 nyenyak sejenak
setelah selesai sesambaian8. Membiarkan pagi tak begitu
cepat hilang santai.

nai, yuliya yang kubangun dulu adalah segenggam khappai9,
setengah bungkus dilan temanggang, khik pitu cabi lunik10.
yuliya yang bila kau giling dalam biduk cukuplah hari-hari
tunduk dan takluk. Cukup untuk pasti menutup
pintu-pintu ke arah huma, pintu-pintu ke arah lada:

nai, kapan kita putungga?11

1= nai (mekhanai) =jang (bujang)
2= menyerbuk=membubuk (pada kayu)
3= berumah tangga
4= kayu baker
5= rebus
6= paman
7= bibi
8= berkumpulnya bujang dan gadis sebelum atau saat malam tikuk dalam adat perkawinan Lampung. Di acara tersebut, mekhanai (bujang), memperkenalkan diri ke muli (gadis) yang ditaksir. Bisa diartikan sebagai: “malam dagang muli.”
9= rampai (tomat)
10= terasi panggang,dan tujuh cabai rawit
11= nai, kapan kita bertemu?


DI ATAS LANTAI PAKAIAN IBU



adikku, di atas lantai pakaian ibu kita
belajar bersama, bertengkar sebagai anjing
anjing pakaian. Kita belajar sakit dari
gigit, cakar, congkel, dorong, dan tarik
dari setiap peristiwa tengkar, dari setiap
rebut sabar. Kita belajar memaknai
alir puting susu, urat ibu anggap kandung
dan perihal bapak yang terselubung
dalam mata sarat timbang duduk timang.

adikku, kita selalu membayangkan
mampu bebas melihat purnama tanpa harus
di punggung mamak1 dan minan2, kita
selalu membayangkan rumah panggung
adalah ujung pengembaraan. Ujung setia
pada ilmiah, pada kronologis, dan cinta
kemilau tapis3. Kita membayangkan,
suatu saat, giliran kita yang berteriak
dalam setiap petak-umpet malam hari.

suatu saat, adikku, kita membayangkan
jadi penurut pada panglima malam abdi.

1= paman
2= bibi
3= kain tradisional Lampung. Corak dari tapis disulam dari benang emas.


MANUSIA API


1
tak ada rumah yang tersisa, pekon1 yang kini
telah berubah menjadi sawah. Dan sulit bagiku mengerti
bahwa dulu pernah ada banjir yang memecah pekon jadi
lima penjuru jaga; di Titian Batu, di Bukit Kerupang,
di Tepi Hilian Sungai, di Bukit Pinjauan, dan di Pekon
Sanggi. Yang kupahami ada bubandung2 dalam diriku, ada
lada dalam jiwaku. Dan membunuh, suatu waktu, mungkin
akan kulakukan untuk menjaga pekon ini dari perubahan,
dari pengertian, dan dari penerimaan. Seperti itulah
aku harus hidup, seperti itulah kami harus hidup:
membunuh yang asing bagi kami.
kami yakin Tuhan ada dalam jiwa kami. Kami dengar
deru kali. Kami rasakan perih di mata saat kami benamkan
kepala kami di Sungai Semaka. “Yang memang, kelak,
kepala kami mengapung dan hilang di sana.”
kami rasakan angin dari teluk itu, Teluk Semaka.
kami mengenal Tuhan di atas perahu itu. Satusatu
kami berikan kepala kami untukNya. Dan kami tak bosan,
dan kami tak punya keluh, dan kami tak lagi sedih.
sebab kami jugalah bujang dan gadis yang dimabuk cinta
di atas perahu. “Mengan di datas jukung, tutuk adat,
tutuk burasan.”3
Tuhan kami adalah pecinta dan pembunuh.

begitulah, saudara, meski dilahirkan buta, aku
telah biasa memahami keadaan, berangkat dan pulang ke
sawah ini; di mana letak sawah milikku dan di mana letak
sawah milik orang lain. Dan bisa aku rasakan persawahan
ini cukup luas.
bagiku keindahan sawah tak hanya pada saat padi
mulai hijau tua atau pada saat padi mulai menguning,
tapi pada saat aroma lumpur kau cium. Dan akan kau
rasakan kesunyian itu. Kecipak air yang menggenang ini.
aku juga yakin bahwa yang sedang kugenggam ini adalah
kuol mas4, yang selalu orang-orang menyebutnya
begitu. Tapi cangkang, tetaplah sesuatu yang juga dapat berubah.
Maka jangan juga kau salahkan aku, bila aku mengatakan
dia lumpur, dan remuk, bila, setelah terkena mata cangkulku.
dan sekarang, marilah kuajak kau meniti penopon5
ke tengah persawahan. Seperti yang kau lihat sendiri,
di situlah kubangun anjung. Letaknya yang menurutku
pol6, maka jangan pulalah kau gusar bila merasa terbenam
pandang.

2
aku telah sungkan menjadi tuan di tanah ini,
telah terbiasa tak bergetar tangan, telah pukau pada
silau cahaya zuhur, telah maru pada bukit serupa gunung.
telah mampus pada arus sungai keruh,( awi hapus)7, dan
kain pembungkus badan. Apakah pakaian-pakaian
juga telah lenyap seperti kampung – sawahbukitpumatang?
aku telah sungkan pada badan – berekor siluman.
aku telah sungkan pada badan – bergigi tikus (punyimbang)8.
adakah rumah selain perempuan?
aku telah sungkan menjadi tuan di (tanoh)9mu, Pun10!
Mungkin yang engkau maksud adalah gunung tanggamus11,
yang di kakinya mengalir air sedingin embun pada waktu
pagi dan petang. Sebelum pisau terasah di batu; sekedar
mencerna desau di insang ikan. Apakah mungkin palau12
muncul dari perut gunung?
tengoklah bangkai daun yang tersangkut di celah
bebatu yang kerontang dalam air, padanyalah terdapat api – reaksi.

1 = kampung
2 = satu dari banyak sastra lisan Lampung isi dari tuturnya meriwayatkan
perjalan hidup seseorang.
3 = “makan di atas perahu, berikut adat, berikut cinta,”
4 = keong mas
5 = tepi batas petakan sawah
6 = pas = mantap = sesuai
7 = bambu lapuk
8 = penyeimbang adat = penyusun undang-undang adat
9 = tanah
10 = tutur kepada anak saibatin paling tua dan sebaya. Bapaknya
ditutur pengikhan. Setelah anaknya naik tahta, kita yang sebaya dengannya
tetap memanggilnya Pun sedangkan anak kita menuturnya pengikhan.
11 = gunung yang ada di Kab. Tanggamus. Mulai terlihat dari sepanjang jalan Kec.
Talang Padang sampai pesisir Way Nipah dan Perbukitan Sedayu.
12 = ikan yang dianggap mistis masyarakat pesisir Semaka. Mistis tersebut dikarenakan
penampakan ikan tersebut secara tiba-tiba pada orang-orang tertentu. Gara-gara
penampakan inilah orang Lampung mulai membuat bubu, khunju (anyaman dari
bambu tempat meletak ikan). Selain pawang harimau, pawang buaya, pawang napuh
(kancil), pawang kijang, pawang gajah, ada juga pawang khusus iwa palau ini.
Hanya orang-orang tertentu yang dapat menangkapnya. Generasi sebelum bapak
saya sempat tahu rupa iwa tersebut dikarenakan pada zaman itu masih ada yang
mewarisi “pawang iwa palau”. Namun setelah garis waris pawang putus iwa palau
semakin misteri bagai masyarakat pesisir Semaka. Dalam kita kuntara raja niti telah
disebutkan hal lain arti penting ikan bagi masyarakat Lampung pesisir Semaka.
Dalam acara adat ikan adalah menu penting yang harus hadir dalam mi pangan (mi
yang harus dibayarkan oleh masyarakat ke pihak saiful hajat}. Begitu pula dalam acara
makan di atas perahu yang telah punah itu; acara makan-makan bujang-gadis untuk
mengenang bujang atau gadis yang telah menjadi tumbal untuk kemakmuran desa.



Oky Sanjaya, lahir di Pekon Sanggi, Kabupaten Tanggamus, Lampung, 13 Oktober 1988. Mulai menulis sajak secara serius ketika duduk di kelas XII SMA. Beberapa sajaknya terbit di Lampungpost. Kini selain belajar di FKIP PMIPA Fisika Unila Semester VII, Oky Sanjaya bersama Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) melakukan studi etnografi dari Liwa, pesisir Krui, sampai pesisir Semaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar