Jumat, 28 Agustus 2009

DI ATAS LANTAI PAKAIAN IBU

adikku, di atas lantai pakaian ibu kita
belajar bersama, bertengkar sebagai anjing
anjing pakaian. Kita belajar sakit dari
gigit, cakar, congkel, dorong, dan tarik
dari setiap peristiwa tengkar, dari setiap
rebut sabar. Kita belajar memaknai
alir puting susu, urat ibu anggap kandung
dan perihal bapak yang terselubung
dalam mata sarat timbang duduk timang.

adikku, kita selalu membayangkan
mampu bebas melihat purnama tanpa harus
di punggung mamak dan minan, kita
selalu membayangkan rumah panggung
adalah ujung pengembaraan. Ujung setia
pada ilmiah, pada kronologis, dan cinta
kemilau tapis. Kita membayangkan,
suatu saat, giliran kita yang berteriak
dalam setiap petak-umpet malam hari.

suatu saat, adikku, kita membayangkan
jadi penurut pada panglima malam abdi.

Makam Muli Kagundang

Way Banding

Keramat Tutung

Keramat Kekhuppang

Makam Khatu Tunggal Bala Kuasa

Sabtu, 07 Februari 2009

Wacana: Rancage, Sastra, dan Budaya Lampung

Minggu, 8 Februari 2009

APRESIASI


TAHUN yang lalu, Hadiah Sastra Rancage juga diberikan kepada sastrawan yang menerbitkan buku dalam bahasa Lampung. Ternyata seperti yang kami khawatirkan, usaha penerbitan dalam bahasa Lampung itu tidak dapat dilaksanakan secara kontinu. Dalam 2008, tak ada buku yang terbit dalam bahasa Lampung, sehingga untuk Hadiah Sastra Rancage 2009 hadiah untuk bahasa Lampung tidak dapat diberikan.

Kekhawatiran seperti itu sebenarnya wajar karena penerbitan buku bahasa ibu dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali juga--walaupun ada saja yang terbit setiap tahun--bukanlah usaha yang menjanjikan hari depan secara bisnis. Karena itu ketika beberapa waktu yang lalu kami diberitahu bahwa ada buku yang terbit dalam bahasa Madura, kami tidak segera menyambutnya dengan menyediakan Hadiah Sastra Rancage buat pengarang dalam bahasa Madura. Kami khawatir terjadi lagi apa yang sudah terjadi dengan bahasa Lampung.

(Petikan Keputusan Hadiah Sastra Rancage 2009 yang ditandatangani Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi).

Dan, lonceng kematian (semoga sementara) itu berbunyi: Hadiah Sastra Rancage 2009 untuk Lampung tidak diberikan kepada pengarang Lampung. Saya sungguh terpukul dengan kabar buruk ini. Dalam bahasa Irfan Anshory, ulun Lampung yang kini tinggal di Bandung, "Malu kita!"

Untungnya Sekretaris Yayasan Kebudayaan Rancage sedikit memberikan hiburan dengan mengatakan, jika ada terbitan buku sastra berbahasa Lampung terbit 2008, bisa diikutkan Rancage 2010. Dia berharap kesalahan teknis ini tidak mengganggu kontinuitas penerbitan sastra Lampung.

Lalu, saya pun tenggelam dalam dunia idealisasi bagaimana seharusnya mengembangkan sastra berbahasa Lampung. Buku Mak Dawah Mak Dibingi (BE Press, 2007) dan Hadiah Sastra Rancage 2008 sebenarnya hanyalah pintu masuk saja bagi sebuah upaya memperjuangkan keberadaan bahasa dan sastra Lampung. Setelah ini, para seniman (sastrawan) Lampung dalam arti sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai media kreativitasnya, harus tetap berupaya melahirkan karya-karya sastra berbahasa Lampung. Minimal dua dalam setahun.

Saya sangat berharap setelah Hadiah Sastra Rancage 2008 diberikan kepada sastra Lampung, kehidupan sastra berbahasa Lampung semakin bertambah dinamis. Paling tidak, ada semacam kebangkitan sastra berbahasa Lampung seiring dengan tumbuhnya "kepercayaan diri" penutur bahasa Lampung bahwa ternyata bahasa Lampung bisa bergaya, bahasa Lampung bisa berdaya, dan bahasa Lampung bisa modern. Bahwa bahasa Lampung bisa menjadi media ekspresi imajinatif-kreatif, sehingga bisa melahirkan karya sastra sebagaimana bahasa-sastra Sunda, Jawa, dan Bali.

Sejak awal--katakanlah semenjak terbitnya buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia, Momentum (2002)--sebenarnya saya mengajak orang Lampung untuk menulis sastra dalam bahasa ibunya: bahasa Lampung. Tapi, betapa sulitnya karena kebanyakan orang Lampung (bersuku Lampung), terutama kaum muda justru sulit berbicara bahasa Lampung. Berbicara saja susah, apalagi hendak menjadi penulis sastra berbahasa Lampung.

Yang terjadi kemudian adalah betapa orang Lampung semakin gencar mementaskan sastra (tradisi) lisan Lampung. Berbagai proyek pun digelar semacam pelatihan sastra lisan Lampung. Saya sih setuju saja, tetapi saya hanya menyayangkan para seniman Lampung lebih asyik-masyuk dengan tradisi kelisanan itu. Ada juga yang mendokumentasikan sastra tradisi lisan itu dalam bentuk rekaman atau buku.

Namun, tradisi kepenulisan sastra berbahasa Lampung tak bergerak-gerak juga. Dengan latar itulah, saya menulis dengan bahasa Lampung. Setidaknya, ini sebuah upaya saja agar bahasa Lampung tak benar-benar terkubur.

Sebenarnya tidak ada kendala dalam menulis karya sastra Lampung. Masalahnya lebih terkait dengan masalah komitmen untuk--sebenar-benarnya--mengembangkan bahasa-sastra-budaya Lampung. Mana bisa membangun bahasa-sastra-budaya Lampung dengan sikap yang kelewat pragmatis, materialistis, serta penuh dengan perhitungan untung-rugi atau dengan mental "saya harus mendapatkan sesuatu kerja ini".

Wah, menerbitkan buku sastra berbahasa Lampung itu dijamin rugi. Tapi, dalam jangka panjang buku sastra Lampung itu mempunyai nilai strategis bagi perjalanan bahasa-budaya Lampung itu. Tapi, kebanyakan kita tidak mau berpikir ke arah sana.

Saya berharap bahasa Lampung tetap eksis, berkembang, dan mampu menjadi bahasa kreasi bagi penuturnya. Saya yakin bisa asal ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menjaga, melestarikan, memberdayagunakan, dan membuat bahasa Lampung lebih bergengsi. Sebab, bahasa Lampung adalah penopang utama kebudayaan Lampung. Kalau bahasa Lampung punah jelas pula yang disebut kebudayaan Lampung kiamat.

Yayasan Kebudayaan Rancage memutuskan memberikan penghargaan kepada sastra Lampung tahun 2008 dengan harapan agar kehidupan sastra (berbahasa) Lampung menjadi lebih dinamis. Setelah Hadiah Sastra Rancage 2008 diberikan kepada Mak Dawah Mak Dibingi, tidak bisa tidak setiap tahun harus ada buku sastra Lampung yang masuk penilaian Rancage. Sebab, sejak 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage akan rutin memberikan Hadiah Rancage untuk sastra empat bahasa Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain, Lampung harus menerbitkan buku sasta Lampung minimal dua buku satu tahun. Tidak boleh putus.

Karena itu, pemda, penerbit buku, perguruan tinggi, usahawan, sastrawan, dan masyarakat Lampung harus benar-benar mau menyisihkan waktu, tenaga, dan dana untuk membangun tradisi baru bahasa dan sastra Lampung: menulis dan menerbitkan sastra Lampung!

Saya masih berharap masih ada "orang gila" dalam arti mau menerbitkan buku sastra Lampung dengan segala risikonya. Saya tengah menanti!

Udo Z. Karzi, bukunya Mak Dawah Mak Dibingi (2007) menerima Hadiah Rancage 2008

Kamis, 05 Februari 2009

Rancage 2009 untuk Lampung Ditiadakan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hadiah Sastra Rancage 2009 tidak diberikan kepada penulis sastra bahasa Lampung. Pasalnya selama 2008 tidak ada buku sastra berbahasa Lampung yang yang diterbitkan.

"Batas penjurian, 25 Januari lalu, panitia tidak menerima buku sastra dari Lampung. Para juri tidak bisa menunggu lebih dari 25 Januari sehingga beranggapan tidak ada buku sastra berbahasa Lampung," kata Sekretaris Yayasan Kebudayaan Rancage Hawe Setiawan, yang dihubungi melalui telepon , kemarin (3-2).

Menurut Hawe, jika memang ada karya sastra berbahasa Lampung yang diterbitkan pada 2008, akan diikutkan penjurian Hadiah Sastra Rancage tahun 2010.

Hawe berharap kesalahan teknis ini tidak mengganggu kontinuitas penerbitan sastra Lampung. "Sangat disayangkan tidak ada penulis Lampung yang mendapat Hadiah Sastra Rancage 2009," kata dia.

Tahun sebelumnya, Yayasan Kebudayaan Rancage menganugerahkan Hadiah Sastra Rancage kepada sastrawan Lampung Udo Z. Karzi. Udo mendapat Hadiah Sastra Rancage 2008 atas kumpulan sajaknya, Mak Dawah Mak Dibingi (BE Press, 2007).

Disesalkan

Budayawan Lampung Irfan Anshory menyesalkan terjadinya kesalahan teknis dalam pengiriman karya sastra Lampung ke panitia Hadiah Sastra Rancage. Kesalahan teknis tersebut mengakibatkan lepasnya Hadiah Sastra Rancage dari Lampung.

Menurut Irfan, ada dua karya sastra berbahasa Lampung yang terbit tahun 2008, yaitu kumpulan cerita pendek berjudul Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami dan kumpulan sajak berjudul Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya.

Irfan mengatakan agar kesalahan teknis tidak terulang tahun depan, penerbit jangan sampai terlambat menerbitkan buku sastra Lampung.

Penerbitan buku harus dilakukan sebelum 31 Januari karena pada tanggal tersebut sudah diumumkan peraih Hadiah Sastra Rancage oleh Yayasan Kebudayaan Rancage. "Penerbit juga jangan sampai terlambat mengirimkan karya sastra ke juri Hadiah Sastra Rancage," kata Irfan.

Irfan berharap Hadiah Sastra Rancage tahun 2010 dapat kembali diraih sastrawan Lampung.

Peraih Rancage 2009

Hadiah Sastra Rancage 2009 adalah ke-21 kali penghargaan itu diberikan. Pertama kali diberikan tahun 1989, khusus kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa Sunda.

Tetapi, sejak 1994 para sastrawan yang menulis dalam bahasa Jawa juga mendapat Hadiah Sastra Rancage. Dan sejak 1997, para sastrawan yang menulis dalam bahasa Bali. Tahun 2008 sastrawan yang menulis dalam bahasa Lampung juga mendapatkan Hadiah Sastra Rancage.

Penerima Hadiah Sastra Rancage 2009 sastrawan dan tokoh atau lembaga yang dianggap besar jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa ibu. Mereka adalah Etti R.S. dengan buku kumpulan sajak Serat Panineungan (untuk karya dalam bahasa Sunda) dan Nano S. atas jasanya mengembangkan bahasa Sunda, terutama melalui lagu-lagu karawitan ciptaannya.

Kemudian S. Danusubroto dengan buku roman berjudul Trah (untuk bahasa Jawa). Sedangkan tokohnya, Sunarko Budiman, penulis dan pengelola Sanggar Sastra Jawa Triwida.

Untuk sastra bahasa Bali, Hadiah Sastra Rancage diberikan kepada I Nyoman Tusthi Eddy atas buku kumpulan sajak berjudul Somah. Sedangkan yang terpilih untuk diberi Hadiah Sastra Rancage 2009 untuk jasa dalam bahasa dan sastra Bali adalah I Nengah Tinggen, penyusun buku pedoman pemakaian aksara Bali dan telah menulis 40 judul buku dalam bahasa Bali.

Khusus untuk bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda, Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Samsudi 2009 kepada Aan Merdeka Permana yang menulis buku Sasakala Bojongemas.

Setiap penerima Hadiah Sastra Rancage selain mendapat piagam juga uang Rp5 juta. Sedangkan Hadiah Samsudi berupa piagam dan uang Rp2,5 juta. Penyerahan hadiah dilaksanakan dalam suatu upacara khusus yang akan diselenggarakan di Jakarta. Tempat dan waktunya akan ditetapkan kemudian. n PADLI RAMDAN/K-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 4 Februari 2009

Selasa, 03 Februari 2009

Kebuayan Lampung

YAYASAN SEKOLAH KEBUDAYAAN LAMPUNG (SKL)
Sebagai Upaya Pembelajaran Kebudayaan Lampung di Lingkungan Sekolah dan Universitas
KELOMPOK BELAJAR KEBUDAYAAN (kebuayan) LAMPUNG

Kekayaaan kebudayaan Lampung merupakan kekayaan nusantara yang perlu di jaga. Penjagaan tersebut bisa berupa pelestarian kebudayaan, pendidikan, pengembangan, dan inovasi, secara terarah dan berkesinambungan yang perlu mendapat perhatian serius baik dari kalangan pecinta kebudayaan, lembaga-lembaga pendidikan, dan para birokrat kebudayaan. Dari sisi politik kebudayaan Lampung memberikan kedudukan penting bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya. Nilai-nilai budaya telah membentuk watak suatu bangsa yang pada akhirnya akan menjadi identitas kemasyuran di zaman yang akan datang. Kedudukan yang tinggi itu apabila nilai-nilai modrenisasi yang secara konsumtif kita terima mendapatkan penjelmaan kebudayaan tradisi di dalamnya.

Kekakuan yang menjadi ranah permasalahan utama dari pengembangan kebudayaan Lampung terutama Bahasa Lampung, akan dapat di atasi apabila kebudayaan Lampung, khususnya Bahasa Lampung, mampu bergaul dengan bahasa-bahasa daerah lain yang telah memasyarakat di Lampung. Komunikasi aktif tersebut sejalan dengan diterimanya kebudayaan Lampung oleh kebudayaan lainnya yang telah beranak-pinak di Lampung. Upaya awal yang dapat dilakukan di antaranya adalah mendirikan semacam kelompok kebudayaan yang memfokuskan diri ke arah “bersilaturahmi ke kebudayaan Lampung”. Meski telah bediri beberapa kelompok kebudayaan di daerah ini, sejauh ini kelompok-kelompok tersebut belum memperlihatkan perannya yang strategis dalam pelestarian, pendidikan , pengembangan, dan inovasi budaya.

Upaya yang dapat dilakukan di antaranya adalah memperkenalkan budaya Lampung dengan menggunakan bahasa-bahasa yang memasyarakat di Lampung. Dengan demikian, terjadi barter budaya, yaitu perkenalan bahasa. Kegiatan nyata yang dapat dilakukan adalah melakukan penerbitan koran budaya multi bahasa setiap minggunya. Atau pun bisa dilakukan dengan membuat buletin multi bahasa setiap bulannya. Di dalam koran atau buletin tersebut berisikan nilai-nilai kebudayaan Lampung sehingga diharapkan ada simpati masyarakat selain Lampung untuk mempelajari Budaya Lampung. Hal tersebut sejalan dengan tidak memungkinkan memasyarakatnya Bahasa Lampung di pasar ataupun di lingkungan pemerintah daerah karena sebagaian besar bukan orang Lampung. Untuk itu, lingkungan kampus sebagai lingkungan pendidikan dapat memulai upaya pemasyarakatan Bahasa Lampung dengan berbagai cara yang salah satunya seperti yang telah kami contohkan.

Di lain sisi, kampus memiliki peranan yang strategis dalam melakukan pelestarian, pengembangan, inovasi, dan ‘pengawetan’ kebudayaan Lampung sebagai akibat dari sistem pendidikan yang terus berkembang ke arah nilai-nilai ekonomis dan praktis, yang secara tidak langsung berupaya menghilangkan keluhuran budaya tradisi Perlu adanya lembaga kemahasiswaan (LK) yang fokus dalam upaya-upaya tersebut.

Dari lembaga kemahasiswaan yang telah terbentuk, diharapkan telah terjalin hubungan yang baik dengan lembaga-lembaga kebudayaan di luar kampus, Kantor Bahasa Provinsi Lampung, lembaga kemahasiswaan bidang seni baik di dalam maupun di luar kampus.

Hubungan yang baik juga perlu terjalin dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Lampung setiap kabupaten dan kota yang ada di Lampung. Seperti yang kita ketahui, kurikulum pendidikan 2006 mengharapkan pembelajaran yang diberikan pada setiap satuan pendidikan ke arah pendekatan kontekstual. Dengan demikian, ada hubungan yang sinergis antara lembaga-lembaga kebudayaan dengan MGMP Bahasa Lampung dalam upaya-upaya kedua belah pihak.

Kelompok Belajar Kebudayaan Lampung (kebuayan) Lampung SKL, menempatkan dirinya sebagai mitra pemerintah dalam memperlancar program-program yang berkait dengan pendidikan dan kebudayaan bahkan sampai pada ‘pasar pariwisata Lampung’.



Oky Sanjaya