Senin, 19 September 2011

Ekspresi Sanggi

 
Alhamdulillah, kita umat Islam telah selesai menunaikan ibadah puasa. Menyambut hari kemenangan. Hari-hari hikmah. Hari-hari perayaan. Sebagai penyair, selalu saja ada perasaan berdesir di hati, sekujur tubuh bergetar, bukan karena spiritualisme ketuhanan saya, tetapi lebih karena spiritualisme lokalitas saya. Berjarak 4 jam dari kota Bandarlampung, saya pulang kampung dengan rasa kangen yang mendalam. Senang bisa bertemu kembali dengan sanak keluarga, namun juga diliputi rasa haru-biru. Setiap tahun, satu-satu, orang-orang Sanggi berpulang. Dan karena spirit lokalitas inilah, saya menulis.



Bahasa Lampung tidak akan punah, karena pewarisnya tetap lestari. Saya optimis dengan bahasa daerah ini, karena ekpresi optimisme tetap ada. Zaman memang berubah, tetapi yang berubah hanya alatnya, medianya, dan perspektifnya berkembang. Wajah-wajah memang silih berganti, tetapi ekspresi dan watak tetap utuh dalam jiwa dan ruh orang-orang Sanggi. Mengapa saya berani menyatakan demikian? Pertama, pertumbuhan ekonomi penduduk yang statis di daerah ini mempertahankan kestatisan ekspresi dan watak. Kedua, pukau sungai semaka (hal yang sangat mistis kami yakini).



Tentu kita sadari bersama, adat dan istiadat masyarakat perkotaan berbeda dengan masyarakat pedesaan. Di kota, nilai-nilai instan dan praktis dijunjung tinggi, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi pesat. Sebagai akibat dari pesatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat perkotaan, nilai kontrol lenyap. Kemasabodohan masyarakat tinggi. Kebertetanggaan tidak sampai menyentuh hati. Sebaliknya, dan hampir teracuni, masyarakat Sanggi, menjunjung tinggi nilai tengkhasa, mak bangik, dan taat adat. Nilai-nilai yang diam ditempat tentu lebih abadi ketimbang nilai-nilai yang bergerak. Nilai-nilai nominal mata uang terus bergerak. Nilai emas tidak berubah. Dan manusia, berada pada nilai-nilai yang diam ditempat atau berkecepatan konstan – statis. Dinamika menolak kestatisan sehingga istilah-istilah yang berhubungan dengan kata “percepatan” bermunculan. Percepatan pembangunan, percepatan pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Sebab itulah mengapa bangsa ini tidak pernah maju, karena terus-terusan berdinamika. Berdinamika politik, berdinamika dalam hukum, berdinamika dalam perdebatan, dan berdinamika dalam agama. Saya rasa, musyawarah dan mufakat telah lenyap, karena musyawarah dan mufakat, berada dalam nilai yang statis. Sebab itulah, persoalan-persoalan di desa (yang menjadi urusan warga desa) lebih cepat selesai ketimbang urusan warga kota. Prinsip kegotongroyongan menjunjung tinggi nilai statis ini, entah implementasinya. Berpercepatan memiliki konsekuensi logis, naik-turun, rapat-renggang. Post-Modernisme, ditandai dengan berdinamika ini. Sedangkan era baru, ditandai dengan kestatisan.



Meskipun demikian, wacana lokalitas, adalah hal pokok yang menjadi pemikiran saya. Apa sumbangsih lokalitas terhadap bangsa ini harus kita perhitungkan. Nilai lokalitas inilah yang mempertahankan humanisme bangsa kita yang besar.



Kembali kepada kemanusiaan, dan bagaimana kembali, inilah yang menjadi pemikiran saya. Sebagai perantau, yang hidup di hiruk-pikuk perkotaan. Kemacetan dan waktu yang sistemik. Saya akhirnya, pulang kampung, dan beristirahat. Bangsa ini sebaiknya beristirahat, dan pulang kampung. Tetapi apa yang terjadi, diluar dugaan saya. Rutinitas pulang kampung, identik dengan temu-kangen, cipika-cipiki, dan bukan ziarah. Mungkin saya mengeneralisasi? Walau pun hanya riak-riak kecil pernyataan ini, tetapi pemikiran ini sebagai antisipasi bagi saya. Sungguh tak logis bagi saya, setiap tahun, istilah arus mudik – arus balik, adalah arus yang tak jelas yang mana hulu dan yang mana hilir. Keterburu-buruan, kekhawatiran terhadap waktu yang sistemik (harus segera bekerja kembali), bahkan kedua hal tersebut sampai pada urusan cinta, sungguh menyebalkan dan membuat banyak perantau di kampung ini bersedih, dan berusaha untuk dapat kembali pulang karena keterpukauan terhadap kampung. Statis.



Tidak ada yang berubah di kampung ini, jika saya boleh mengatakannya demikian. Perkataan ini mengalir begitu saja setelah saya memandangi ekspresi wajah satu-persatu masyarakat yang tetap bertahan hidup di tanah ini. Terutama ekspresi anak-anak. Saya melihat suatu ekspresi masa depan. Suatu ekspresi kelestarian. Anak-anak yang fasih berbahasa Lampung. Anak-anak dengan gestur pemenyin. Ekspresi anak-anak yang murni. Ekspresi pemberontak terhadap ketidakadilan. Ekspresi pembunuh terhadap tanah yang telah dirusak. Ekspresi yang sama ketika kami seperti mereka, anak-anak. Inilah Sanggi, menyimpan sejarah yang dalam, yang entah siapa akan mengangkatnya kepermukaan. Saya hanyalah suara dari ekspresi ini. Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar